Kamis, 10 Januari 2013

Cerpen: Ibu Mimin


Ini cerpen yang pernah diikutkan lomba, tapi kalah. Hiks... Tetep semangat...!!! ^_^'

Waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB, aku merapikan mukena dengan malas. Malas membayangkan agenda hari ini, berjibaku dengan teriknya matahari yang tepat berada jauh di atas kepala, ditengah musim kemarau begini, makin terasa sengatannya. Malas bertemu dengan mereka yang selalu saja banyak keluhan, entah itu masalah keluarga, masalah dengan tetangga, dan 1001 macam masalah lainnya. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi tanggung jawabku, mau tidak mau harus dilaksanakan.
        Aku pun mengganti pakaian dan mengambil ransel kecilku. Berpamitan pada kedua orang tua dan bersiap mengeluarkan sepeda mini kesayanganku. Mengayuh pedal dan menempuh jarak sekitar 1 kilometer menuju tempat tugasku hari ini, hari Minggu. Dan hari ini matahari benar-benar terik.
“Assalaamu’alaykum,” sapaku ketika tiba di warung Ibu Mimin. Aku selalu menyempatkan untuk mampir ke rumahnya yang tepat berada di pinggir jalan.
“Wa’alaykumsalaam,” yang disapa adalah ibu-ibu paruh baya dengan daster selutut dan penampilan masih acak-acakan, khas pedagang sayur yang kelelahan setelah bergela-gelap ria menuju pasar pagi, belanja ini-itu untuk kebutuhan dagang, dan menajajakan dagangannya di warung kecil sambil menunggu ibu-ibu sekitar rumah yang hendak berbelanja. Wajahnya kuyu karena memang belum tidur dari jam 2 dini hari tadi, begitu setiap hari.
“Kok belum rapi, Bu? Hari ini kumpulannya di rumah Bu Titin, kan?”
“Iya, Mba. Maaf, saya kagak bisa dateng hari ini. Badan lemes banget, Bapaknya masuk rumah sakit semalem, insya Alloh minggu depan ya, Mba.”
“Lha, ibu, kan, minggu kemaren nggak dateng, masa mau nggak dateng lagi hari ini,” aku mulai kesal, dan memang selalu kesal menghadapi ibu yang satu ini. “Trus, minggu kemaren katanya mau nitip cicilan, kata Bu Wira nggak ada titipan,” selalu saja berjanji dan selalu saja tidak ditepati. Aku sudah malas bersungkan-sungkan lagi padanya.
“Iya, saya lupa, kemaren pas Mba Arin jalan, saya langsung tidur, capek banget. Minggu ini kagak nyicil dulu ya, Mba. Suami saya masuk rumah sakit semalem,” ohya, tadi dia bilang begitu juga, rasa kesalku membuatku lupa untuk berempati atas musibah yang terjadi pada suaminya.
“Ohya, sakit apa?”
“Kecelakaan, Mba. Ditabrak motor sama preman kampung sebelah,” Bu Mimin memasang gaya akan bercerita panjang lebar, khasnya kalau sudah mulai beralasan. Aku bukannya tidak mau mendengarkan, tapi dia saja tidak pernah mau mematuhi peraturan lembaga, untuk apa aku repot-repot mendengarkan keluhannya? Suaminya ditabrak orang, ah, sepertinya aku tidak mau peduli separah apa tabrakannya. Paling-paling, ujung-ujungnya meminta tambahan pinjaman sambil menangis tersedu-sedu. Aku paling tidak suka melihat orang lain menangis, karena aku tidak pernah bisa bersikap tegas di depan air mata.
“Oh, ya udah. Kalo gitu saya permisi ya, Bu. Assalaamu’alaykum,” aku langsung mengayuh sepedaku menuju rumah Ibu Titin. Aku tidak peduli dia menjawab salamku atau tidak.
Sesampainya di rumah Bu Titin, 7 dari 10 orang anggota kumpulan sudah hadir. Dikurangi Ibu Mimin yang sudah pasti tidak hadir, kami harus menunggu 2 orang lagi agar kegiatan rutin ini bisa dimulai. Dan tidak sampai 5 menit, kedua orang ibu yang ditunggu sudah hadir dan langsung bergabung.
Kesepuluh orang ibu ini adalah anggota sebuah lembaga pemberdayaan perempuan dimana aku bekerja. Kegiatannya adalah kumpulan rutin sepekan sekali, berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 10 sampai 20 orang anggota. Ada fasilitas pembiayaan lunak yang kami berikan yang harus dicicil setiap pekannya dan sangat dianjurkan untuk menabung. Kisaran pembiayaannya tidak besar, antara Rp.500.000,- sampai Rp.1.000.000,- per orang dan dalam jangka waktu sekitar 6 bulan harus sudah lunas. Tujuannya adalah membiasakan para perempuan, terutama di desa-desa, agar mandiri dan turut membantu suami yang rata-rata penghasilannya minim. Profesi mereka kebanyakan adalah ibu rumah tangga pada awalnya, akan tetapi setelah mendapatkan pembiayaan, mereka mulai belajar untuk berdagang kecil-kecilan, demi menambah sumber pendapatan baru dan juga mengembalikan uang pinjaman ke lembaga kami.
Hal terberat adalah ketika harus berhadapan dengan Bank keliling, Koperasi, atau apalah namanya yang notabene tetangga mereka sendiri. Karena lembaga kami mengambil margin jauh lebih kecil daripada yang diambil oleh Bank keliling atau Koperasi tersebut. Aku bahkan pernah dilabrak habis-habisan di depan ibu-ibu anggota kumpulanku dan ternyata aku pun dibela habis-habisan oleh mereka, karena mereka memang merasakan manfaat lembaga kami daripada manfaat Bank keliling atau Koperasi tersebut yang pada dasarnya hanya mencekik leher.
Beberapa dari anggota kumpulanku pernah menjadi korban jeratan Bank keliling tersebut, sampai hutangnya tidak pernah lunas karena setiap bulan hanya membayar bunganya saja. Pembiayaan dari lembaga kami pun akhirnya digunakan untuk menutup pinjaman di sana. Dengan cicilan ringan dan dibayar sepekan sekali, catatan cicilan mereka lancar. Dalam hati aku sering bersyukur karena mempunyai kesempatan untuk menjadi jalan untuk membantu banyak orang.
Tapi, namanya orang banyak, dalam setiap kelompok, selalu saja ada beberapa orang yang bermasalah. Salah satunya Ibu Mimin. Dia adalah satu-satunya di kelompok ini yang paling jarang hadir, sementara kehadiran adalah hal yang utama di lembaga kami.
“Kalo dia udah lunas, mah, dikeluarin aja, Mba,” usul Ibu Titin, ketua kelompok Tomat—ohya, setiap kelompok memiliki nama kelompok sendiri-sendiri, biasanya memakai nama sayuran, buah, atau bunga—yang diamini oleh anggota yang lain.
Selalin jarang hadir, Ibu Mimin juga sering tidak mencicil dan selalu digalang oleh anggota yang lain, istilahnya tanggung renteng, sehingga catatan di laporan keuangan lembaga, kelompok ini selalu bersih, tapi selalu saja ada keluhan dari beberapa anggota yang sebenarnya tidak mau ikut patungan membayarkan cicilan Ibu Mimin.
“Soalnya dia kalo digalang, ga pernah bayar, Mba, ke kita,” keluh Ibu Wira. Akan tetapi karena sudah menjadi kesepakatan dan sudah menjadi peraturan, akhirnya mereka mau saja patungan untuk menutupi cicilannya Ibu Mimin.
Kegiatan kumpulan ini biasanya terdiri dari, pembukaan dan pembacaan tekad anggota yang dipimpin oleh salah satu dari anggota yang hadir, setiap pekan bergantian. Setelah itu membayar cicilan dan menabung. Khusus untuk kelompok ini, mereka minta diajarkan membaca, karena 80% dari mereka ternyata sama sekali buta huruf. Dan terakhir penutup dan sesi curhat. Inilah yang paling memakan waktu dan membuatku malas setiap kali harus berangkat kumpulan, mereka selalu berebutan untuk menceritakan apapun yang terjadi dengan mereka, baik di rumah tangga maupun di lingkungan sekitar. Apalagi ini hari Minggu, saat seharusnya aku beristirahat bersama keluarga, karena Senin sampai Jum’at aku bekerja di kantor dan kadang harus kumpulan juga, dan Sabtu mencuci dan menyetrika pakaian sendiri. Akan tetapi, kalau diganti hari, sebagian besar dari anggota kelompok Tomat ini tidak akan bisa hadir, karena harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga hari libur mereka hanya hari Minggu.
“Ibu-ibu, saya mohon maaf, karena habis ini saya ada agenda lain, jadi saya harus pamit sekarang,” aku memotong curhat Ibu Wira yang sedang semangat menceritakan tentang anaknya yang baru saja mendapat beasiswa di sekolahnya. Karena kalo tidak distop, aku bisa pulang malam lagi hari ini. Kapan istirahatnya? Aku tidak bohong, kan? Agendaku setelah ini adalah istirahat, menyiapkan energi untuk esok hari. Lagipula sesi curhat sebenarnya tidak ada dalam susunan acara kumpulan.
“Oh, iya, Mba. Makasih ya, ati-ati di jalan,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Iya, assalaamu’alaykum.”
“Wa’alaykumsalaam.”
Kami pun meninggalkan rumah Ibu Titin bersama-sama, aku menuntun sepedaku sambil tetap mendengarkan curhat Ibu Wira yang masih semangat untuk melanjutkan, kepalaku sudah pusing.
***
Rabu siang, di kantor. Sedang asyik-asyiknya menikmati makan siang, tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulirik sebentar, dari ibu Titin kelompok Tomat. Ah, nanti saja aku angkatnya. Habis ini aku harus kumpulan di kelompok Bawang. Tidak boleh terlambat karena nanti anggota akan meniru dan menjadikan keterlambatanku sebagai alasan keterlambatan mereka.
            Selesai makan aku langsung bersiap-siap menuju kelompok Bawang. Handphone-ku berdering lagi. Sepertinya penting, sampai menelepon lagi.
            “Assalaamu’alaykum, maaf, Bu, tadi lagi makan. Ada apa ya?”
“Wa’alaykumsalaam, iya nggak papa, Mba Arin. Saya cuma mau ngasih tau, Ibu Mimin kabur dari rumah.”
“Loh? Kenapa?” aku tiba-tiba teringat harus segera berangkat. “Nanti malam saya telepon balik ya, Bu. Maaf, saya lagi buru-buru sekarang, ada kumpulan lagi.”
“Oh, iya, Mba. Nanti malam saya tunggu.”
***
“Ibu Mimin kelilit utang, Mba,” Ibu Titin membuka pembicaraan. “Dia kabur soalnya tiap hari ditagihin orang Bank 10 orang,” aku membelalak.
            “Bank keliling?” 10 orang? 1 orang saja bisa membuat pusing karena setiap hari ditagih dan kalau tidak ada uang untuk membayar, dibentak-bentak dulu baru pergi.
            “Iya. Kalo ditotal, sekitar 15 jutaan semuanya, Mba,” aku semakin kaget. “Ibu Mimin kagak bisa bayar lagi. Kasian suami sama anak-anaknya, ditinggalin begitu aja, yang paling kasihan yang paling kecil, soalnya seharian dia ada di rumah, tadi dibentak-bentak mulu sama orang-orang Bank-nya. Ibu Mimin kaburnya nggak tau kapan. Semalem kali, sekalian belanja sayur, tapi kagak belanja, malah kabur,” Ibu Titin cerita panjang lebar.
            “Suaminya bukannya lagi di rumah sakit?” aku tiba-tiba ingat penuturan Ibu Mimin hari Minggu kemarin. Jangan-jangan untuk biaya rumah sakit. Aduh, separah apa ya, tabrakannya? Jadi merasa bersalah.
            “Ngapain di rumah sakit?” Bu Titin balik bertanya.
“Loh, katanya habis tabrakan malem Minggu kemaren?”
“Ah, kagak. Orang tadi pagi ada di rumah. Rame banget tadi pagi di rumahnya, orang-orang pada mau belanja, Bu Mimin-nya kagak ada. Suaminya ke tempat kerjaannya, mau kasbon katanya, buat nutupin utangnya Bu Mimin. Emang boleh ya, Mba, minjem duit segitu banyak?”
“Wah, saya nggak tau, Bu. Potong gaji, mungkin. Tapi 15 juta itu, kan, banyak banget, Bu. Emangnya Bu Mimin buat apaan duit sebanyak itu?” aku menyelidik, karena ternyata bukan untuk biaya rumah sakit.
“Kagak tau juga, Mba. Tapi kata orang-orang sih, buat modal dagang sayur. Minjem ke Bank A, trus nggak bisa bayar, minjem lagi ke Bank B buat bayar Bank A, begitu seterusnya.”
“Masa modal sayur doang bisa berjumlah 15 juta?”
“Ya kagak, Mba. Dia, kan, orangnya sok kaya. Senengnya jajan sama ngumpulin barang-barang elektronik,” hmm, iya sih, aku sempat heran waktu kumpulan di rumahnya, perabotan rumah tangganya lumayan lengkap, sangat berbeda dengan perabotan di rumah 9 orang anggota yang lain. Ada mesin cuci, lemari es 2 pintu, televisi 21 inchi, blender, mixer, dispenser, dan sebagainya. Ternyata itu dari hutang, ya? Pantas saja bila mencapai angka 15 juta. Serem juga, seorang pedagang sayur yang penghasilan kotor hariannya hanya sekitar Rp.100.000,- sampai Rp.200.000,-, mempunyai hutang sebesar itu. Belum untuk kebutuhan sehari-hari dengan 5 orang anak yang masih sekolah semua, sementara suaminya bekerja di sebuah bengkel kecil yang penghasilannya juga tidak seberapa.
Aku memang sebal dengan Ibu Mimin yang selalu mengingkari janji, baik untuk hadir pada acara kumpulan maupun untuk cicilan, apalagi kecelakaan suaminya ternyata hanya bualan belaka, aku jadi semakin sebal. Tapi dengan hutang sebanyak itu, bagaimana anak-anak dan suaminya melanjutkan hidup? Yang paling besar saja baru kelas 2 SMP. Sementara ibunya kabur dari rumah. Aku tidak berani membayangkan. Terlalu ngeri untuk sebuah kenyataan.
“Soal utangnya di kita, nanti saya coba bicarakan dengan pimpinan saya, Bu. Semoga saja bisa diputihkan. Lagipula tinggal dua ratus ribuan lagi.”
“Iya, Mba. Saya kasian juga sama dia.”
“Kalo boleh kasih saran, perabotan yang nggak terlalu perlu, dijual aja, lumayan buat ngurangin utangnya.”
“Iya, nanti saya sampein ke suaminya. Ya udah gitu aja ya, Mba. Maaf ganggu, malem-malem.”
“Ya, nggak papa. Makasih informasinya, Bu.”
“Sama-sama, Mba. Assalaamu’alaykum.”
“Wa’alaykum salaam.”
Dan semalaman, aku tidak bisa tidur hanya karena memikirkan kejadian ini.

Sabtu, 15 Desember 2012

Suamiku Ngga Romantis ^_^'


Ini tulisan temen. Aku suka banget sama tulisan ini, karena mirip banget sama suamiku. Ga romantis. Hehe...

Zaman masih belum menikah dulu, jika ditanya ingin punya suami seperti apa, maka yang terbayang di angan-angan adalah ingin punya suami yang romantis seperti di flm-flm. Yang suka memberi bunga di hari-hari tertentu, yang suka memberi kado kecil kejutan, yang suka berlaku mesra di depan umum, yang memanggil aku ‘‘sayang’’ atau ‘‘dinda’’ , yang setiap pagi memberikan kecupan manis di kening, yang suka mengajak jalan-jalan di bawah rembulan, makan malam diterangi cahaya temaram lilin. Oh.. indahnya..

 Tapi ternyata..Suamiku tdak suka memberi bunga. ‘‘Boros dan nggak ada gunanya’’, katanya. Suamiku tdak suka memberi kejutan, malah sering lupa pada hari-hari “pentng” kami. Suamiku lebih suka jalan di depan jika kami belanja. Suamiku lebih suka memanggil aku ‘‘yang’’ daripada “sayang”. Suamiku paling tdak suka keluar rumah di hari Sabtu. ‘‘Rame! Macet! Males!’’, katanya. Jika mengantar kerja ia hanya menurunkanku di depan gerbang kantor “Biar cepet”, alasannya. Hampir setap malam ia selalu tdur duluan.


Tapi suamiku yang nggak romantis ini mau bantuin aku sekedar buang sampah atau menggosok bajunya sendiri sewaktu dia melihat aku sedang sibuk mengerjakan pekerjaan kantor. Tanpa bicara apa-apa, suamiku langsung mengambil sapu untuk membersihkan rumah ketka ia lihat rumah kami kotor kemudian mengepelnya. Setap pagi ia yang memandikan anak kami karena ia tahu aku sedang menyiapkan makanan. Hampir setap hari ia merelakan gajinya dipotong karena terlambat masuk kantor karena menungguku siap. Ketika kusuruh berangkat duluan, ia hanya menjawab “Aku nggak tega”. Biarpun ia hanya mengantarkan sampai gerbang kantor, ia tidak mengeluh jika ia harus menunggu lama saat menjemputku. Jika aku sedang sakit, ia tidak bosan-bosannya menyuruhku untuk minum obat, padahal aku sudah sering pula menolaknya karena tdak suka. Tak pernah ia sekalipun berkata “Kok nggak ada makanan hari ini?” atau “Kamu nggak masak ya?”. Dan tidak jarang ia memasak sekedar nasi goreng tanpa kecap untuk berdua. Jika tidak ada bahan, maka ialah yang pergi ke warung untuk membeli mie instan untuk kemudian dimasaknya. Suami yang nggak romantis ini pula yang tidak membiarkan aku jalan di bagian jalan yang lebih dekat dengan kendaraan, dia selalu menggandeng tanganku walaupun setelah itu dia kembali berjalan sendiri di depan. Suami yang nggak suka acara weekend ini mau belanja buat aku sepulang dari kantornya. Entah itu cuma 2 kotak minuman kacang ijo, gorengan atau martabak.  Jika ditanya dalam rangka apa, ia menjawab “Lagi ada rezeki berlebih”. Suamiku nggak suka ngasih kejutan atau kado, tapi dia selalu tau kalau hatku sedang resah atau galau. Walaupun ia tidur lebih dulu, dia yang setiap pagi membangunkanku dengan sentuhan lembut untuk sholat subuh. Jadi, jika ditanya, ‘‘Suamimu romantis nggak?’’ Aku jawab dengan sebuah senyuman. Romantis menjadi tidak pentng lagi jika perhatian dan pengertiannya ditumpahkan ke tempat yang tepat. Memang bukan tipe pemimpin yang kuinginkan, tapi tipe pemimpin yang kubutuhkan. Maka dengan bangga aku bersorak dalam hati “Suamiku nggak romantis!”

 

Kamis, 06 Desember 2012

Alhamdulillaah, Terima Kasih Yaa Alloh, Karena Aku Tidak Cantik... ^_^’

Bismillaah...

Udah lama banget ide ini muncul, tapi lupa terus mau ditulis. Pas inget, sikonnya ga pas buat nulis, pas sikonnya pas, lupa. Hehe...

Nah, sekarang insya Alloh sikonnya pas dan inget. Yuk mulai...

Masa remaja, yang tidak indah
Setidaknya itu menurutku dulu. Karena keindahan masa remaja menurutku adalah:
  1. Punya banyak teman dan sahabat, gaul gitu dech.
  2. Jatuh cinta dan punya pacar, yaaah kalo bisa beberapa kali gonta-ganti pacar. Tiap jam istirahat dan pulang sekolah, kalo ngga sama temen, yaa sama pacar. Wah, indahnyaaa... Jalan berdua, beli es krim, makan bakso, ke bioskop, dan lain-lain dech. Seru ye?
Tapi aku tidak mengalami semua itu. Teman dan sahabat sih punya, tapi bisa dihitung jari dech, cuma berapa temennya, apalagi sahabat. Dan hal ini terbukti pada saat kumpul-kumpul alumni, baik SMP maupun SMA. Walah, banyakan ga kenal-nya bow... Tapi tetep pengen ikutan aja kalo ada reunian gitu. Gapapa gamama dah, biar banyak ga kenal juga, kenalan aja pas reunian. Gampang, kan?

Dan yang paling sedih yaa yang nomor 2. Jatuh cinta sih sering, tapi ga pernah punya pacar. Hwaa... Cuma karena 1 alasan, aku tidak cantik, bahkan jauh dari cantik. Hikhikhik... sedih.

Masa remaja adalah masa bergejolak, dimana cinta datangnya dari mata lalu turun ke hati, bukan dari hati, menyebar ke seluruh tubuh, termasuk mata. Kalo cinta diawali dari mata, repot dah, yang jauh dari cantik kayak aku gini, jangan pernah berharap dilirik sama cowok-cowok. Karena secara naluriah, setiap manusia menyukai keindahan, dan keindahan itu yaa yang bisa dilihat. Kalo dilihatnya aja udah ngga indah, yaa udah, pasrah aja dah. Toh, aku sendiri juga gitu, yang disukai mesti yang enak dilihat, ganteng gitu deh. Kalo jauh dari ganteng juga ga bakalan suka. Jadi ceritanya, dulu itu aku cuma jatuh cinta doang, tapi ga ada satupun yang jadi pacar. Kasian yah?

Masa setengah matang, mengenal Islam
Eits.. jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya. Aku beragama Islam sejak dilahirkan, karena kedua orangtuaku memeluk Islam, alhamdulillaah, dan aku otomatis beragama Islam juga. Tapi seperti kebanyakan bocah yang ada di negara kita ini, beragama Islam belum tentu mengenal Islam. Tapi kalo ditanya orang, jawabnya Islam, nulis diary temen—dulu zamannya seneng punya diary trus disebarin ke temen-temen, saling mengisi biodata dan pantun—agamanya Islam, bikin KTP juga, pas jadi, tulisannya Islam. Tapi ya sekedar beragama Islam doang. Cuma tau rukun Islam dan rukun Iman—karena waktu ngaji di TPA memang disuruh menghapal kedua rukun itu. Kalo Islam harus sholat 5 waktu, harus ngaji, dan lain-lain. Sebatas kulit luarnya aja.

Dulu, karena aku tidak cantik, aku pun mencoba pake kerudung, eh, lumayan looh, mendingan. :p Jadinya aku pengen pake terus deh. Pas kelas 2 SMA aku hijrah, tapi masih belum mengerti makna hijrah sebenarnya. Pake kerudung hanya karena ingin menutupi kekuranganku aja.

Aku juga ikutan Rohani Islam alias Rohis, yang kemaren-kemaren santer dibilang cikal bakal teroris, ih, ngga banget deh, ngaco itu mah. Aku di Rohis juga cuma ikut-ikutan doang. Ada mentoring, aku ikut. Ada lomba nasyid berkelompok, aku ikut, walaupun ga menang. Eh, diminta jadi Ketua Keputrian (Kaput) karena diantara anggota Rohis yang lain, cuma aku dan temenku yang pake kerudung. Tapi temenku itu, kayaknya ga mau jadi Kaput, makanya aku yang dipilih. Halah, aku aja ga ngerti apa visi misi Rohis waktu itu, disuruh jadi Kaput, mundur-mundur-munduuuur... Akhirnya jadi PJ Mading.

Mulai dari sana, aku mengenal Islam. Karena aku sering mencari artikel dan tulisan-tulisan tentang ke-Islaman untuk di tempel di Mading, aku jadi banyak tau tentang Islam yang sebenernya. Juga dari kegiatan mentoring seminggu sekali.

Pernah, suatu ketika, pas lagi mentoring, temenku yang pake kerudung juga, ditanya sama mentor kami. “Kenapa kamu pake kerudung?” Nahloh, seandainya aku yang ditanya pada waktu itu, aku mau jawab apa? Karena penampilan saya lebih mendingan daripada ga pake kerudung gitu? Waaah, bisa geger dunia persilatan. Untung bukan aku yang ditanya. Dan ternyata jawaban temenku—yang dari kelas 1 udah pake kerudung—cuma satu kata “kewajiban”. Aku baru mikir, ‘kewajiban’ apa? Dan mentorku senyum-senyum aja, mengiyakan jawaban temenku itu. Habis itu dijelasin deh, bahwa perempuan muslimah, wajib mengenakan hijab/kerudung. Dulu waktu zaman Rosulullooh Saw, pas turun perintah menutup aurat, para sahabat pulang menemui istri mereka dan mengatakan perintah Alloh Swt tersebut. Para istri itu dengan segera mengambil apa saja yang bisa digunakan untuk menutup aurat mereka, istilahnya ada taplak ya pake taplak, ada sprei ya pake sprei, yang penting langsung tertutup. Subhaanallooh yah, Syahrini banget, hehe... Maksudnya, subhaanallooh keimanan istri para sahabat dan tentunya istri-istri dan anak Rosul Saw. Begitu denger perintah, langsung dilaksanakan, tanpa mengajukan keberatan dan alasan-alasan.

Dari mentoring juga aku tau bahwa orang Islam ga boleh pacaran. Tidak ada pacaran dalam Islam. Wah, kalo yang ini sih, aku masih belum tau bahayanya. Jadi terusin aja jatuh cinta dan patah hatinya. Jatuh cinta lagi, patah hati lagi. Sampe bener-bener ga punya pacar. Bukan karena larangan tidak boleh pacaran, tapi karena emang ga ada yang naksir, walau udah pake kerudung juga. Hiks...

Masa hampir matang, perempuan baik-baik untuk laki-laki baik-baik, begitu sebaliknya
Selepas SMA dan kuliah, aku masih tetap ikut mentoring yang bahasanya berubah menjadi halaqoh, artinya pertemuan. Alhamdulillaah, sudah mulai terbawa arus yang baik. Kerudungnya makin panjang dan mulai ingin serius ketika jatuh cinta pada seseorang. Karena seringnya dicekokin tentang larangan mendekati zinah yakni pacaran, aku hanya ingin menikah ketika bertemu dengan seorang laki-laki yang menurutku baik dan sholeh. Dan dalam hidupku, aku 3 kali jatuh cinta—yang serius—, jatuh cintanya karena memang bertujuan untuk membina keluarga samara.

Yang pertama, aku mengajukan diri melalui orang yang kenal dengan ikhwan yang kusuka itu (ikhwan, istilah untuk menyebut laki-laki yang ikutan halaqoh juga). Karena dulu Ibunda Siti Khodijah juga mengajukan diri kepada Nabi Muhammad Saw. Aku yang nge-fans banget sama beliau, ceritanya mau mengikuti jejak beliau. Lagipula mau tau kepastian aja. Biar hari-hariku ngga selalu dibayang-bayangi oleh ikhwan itu. Aku inginkan proses yang baik, yang istilahnya ta’aruf (=perkenalan). Taaapiii, ditolak. Hwaaaa....

Yang kedua, aku lebih berhati-hati. Ga mau seperti keledai, jatuh di lubang yang sama. Aku tidak ada niatan mengajukan diri. Cuma ngasih perhatian-perhatian aja, baik kecil maupun besar. Untuk yang kedua ini, sebenernya aku ragu. Karena banyak sekali hal-hal yang tidak sesuai dengan kriteria. Tapi tetep aja, suka. Hehe... Makanya, aku ga berani maju duluan. Biarin aja mengalir. Sampe tau-tau aku dapet kabar kalo dia udah tunangan. Jdeerrr....

Ditengah galau, aku berusaha mengalihkan ke pekerjaan. Kebetulan aku bekerja di lembaga pemberdayaan masyarakat dhuafa. Ketemu ibu-ibu dhuafa yang udah makan asam garam kehidupan. Pahitnya dikhianati suami, sulitnya mengatur keuangan dengan penghasilan yang minim, anak-anak yang akhirnya kurang perhatian orangtua yang sibuk mengais rezeki, mereka jadi anak-anaknya sangat kurang dalam pemahaman agamanya. Yaa ngga semuanya sih, yang anaknya baik-baik juga ada. Dan semua kenyataan itu, sempat membuatku takut untuk menikah.

Tapi, usia semakin bertambah. Ortu juga udah mulai gelisah. Maklum anak pertamah. Perempuan pulah. Jadi harus segera menikah. Jadi pusing nih kepalah.

Suatu kali, Aa Gym pernah bertaushiyah begini, “Ada seorang pemuda yang mengeluh kepada Aa, dia ingin menikah, tapi muka pas-pasan gini, mana ada yang mau, A?” Trus jawab Aa Gym, “Eeeeh, jangan menghina ciptaan Alloh. Biar begini-begitu juga, muka itu ciptaan Alloh. Ga boleh begitu. Masalah jodoh juga urusan Alloh.” Yah, intinya begitulah taushiyahnya.

Aku menyimpan itu baik-baik sampai aku bertemu dengan seseorang yang juga sangat jauh dari cantik. Dia binaanku. Pedagang kecil yang rajin dan pekerja keras. Anaknya sudah 2. Dia menikah diusia yang lebih muda dari usiaku ketika aku menikah. Qo bisa? Padahal kalo pake skala prioritas, masih mendingan aku muka-nya. Halah... opo yooo... Tapi dia sudah menikah dan sudah punya 2 anak pula. Hmm.... bener kata Aa Gym, jodoh memang urusan Alloh. Jangan muka yang jadi sasaran, tapi emang belum waktunya aja. Kalo udah waktunya, yang sudah tercatat di lauhul mahfuzh, aku juga ketemu sama pilihan terbaik-Nya.

Aku pun berdo’a di setiap sujud terakhirku. Karena pada saat sujud, kita berada sangat dekat dengan Alloh. Jadi berdo’alah pada saat terdekat itu. Do’aku cuma satu, “izinkan aku menikah tahun ini.” Selama setahun lebih aku berdo’a seperti itu. Dan pada akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajukan diri kepada guru ngajiku. Aku menyatakan siap untuk dikenalkan dengan ikhwan baik dan insya Alloh siap menikah dengannya.

Tidak sampai enam bulan, aku menerima sebuah biodata dari guruku. Saat itu adalah pertengahan Ramadhan di tahun 2009. Kalau tidak salah bulan Oktober. Setelah lebaran Idul Fitri, aku dipertemukan oleh guruku, di rumah gurunya guruku. Tanya-jawab sekedarnya, karena aku bingung mau bertanya apa saat itu. Aku ga kenal, ga suka juga. Biasa aja.

Sekitar sebulan kemudian, ikhwan itu kirim kabar melalui email, ingin mengenal keluargaku. Dan email itu harus di cc ke gurunya guruku dan temannya si ikhwan. Jadi tidak boleh email-emailan berdua. Ketika ikhwan itu meng-add ym-ku pun, aku tidak boleh meng-approve oleh gurunya guruku. Dan ketika si ikhwan mau ke rumah untuk berkenalan dengan keluargaku, aku tidak boleh ada di rumah oleh gurunya guruku. Aku yang pada saat itu masih ragu mau meneruskan atau tidak, tentu saja menuruti nasihat itu. Seminggu kemudian aku diminta untuk ke rumahnya, mengenal keluarganya. Dia juga tidak ada di sana pada saat aku ke sana. Aku suka keluarganya. Seperti sudah kenal dekat denganku. ^_^’

Pada kesempatan kedua, si ikhwan datang lagi ke rumahku bersama ibunya. Aku ada tugas meliput kegiatan futsal anak-anak waktu itu, jadi tidak ada di rumah juga. Tapi pada saat aku pulang, mereka masih ada di rumah.

Bulan Januari 2010 tanggal 17, dia mengkhitbahku dan kami menikah di bulan Maret tanggal 14 tahun itu juga. Walaupun sampai malam akad, aku masih belum punya ‘rasa’ apapun padanya, tetapi setelah akad, “kok kayak udah kenal lamaaa banget.” Dan saat itulah aku mulai jatuh cinta. Menikahnya tanpa cinta, prosesnya 6 bulan, tapi setelahnya yaaa.... Jatuh cinta deh. Jatuh cinta yang ketiga nih. ^_^’

Cerita punya cerita, suamiku pun tidak pernah pacaran sampai bertemu denganku. Dan sudah beberapa kali ta’aruf dengan akhwat (nah, kalo perempuan yang halaqoh disebutnya akhwat), tapi semuanya ga ada ‘feel’ katanya. Pas ketemu aku pertama kali, katanya “adeeem banget, kayak masuk ke kulkas”. Hehe...

Hmm... perempuan baik-baik untuk laki-laki baik-baik, perempuan ga pernah punya pacar, untuk laki-laki yang ga pernah punya pacar juga. :p

Kalo lihat zaman sekarang, anak-anak SMP-SMA, pacarannya parah ya? Ga sedikit yang sampe masuk angin, tapi masuk anginnya sampe 9 bulan. Hiyyy, sereeeeem. Aku jadi mikir, kalo aku cantik, dengan karakterku yang begini, waduh, apa jadinya masa depanku? Pastinya ga bakalan ketemu orang yang kayak suamiku. Alhamdulillaah.... Terima kasih yaa Alloh, karena aku tidak cantik. ^_^’

Minggu, 11 November 2012

Bukan masalah berapa pintunya, tapi cara kita memaksimalkan jumlah pintu itu agar semuanya bisa tertutup ^_^'



Bismillaah...

Hidup itu tidak seperti hitungan matematika. Kalimat yang tidak asing bukan? Aku pun sering mendengarnya. Walau baru kupahami makna sesungguhnya saat ini, saat sudah menjadi istri dan ibu, saat sudah tidak berpenghasilan (baca: bekerja, red), saat semua kebutuhan terus mengejar untuk dipenuhi, tapi sumber penghasilannya hanya 1, dari suamiku. Tidak terbayang galaunya aku setelah beberapa kali mencoba yakin, bahwa Alloh Swt tidak akan pernah meninggalkan kami. Rizqi itu dari Alloh Swt. melalui suami, aku pernah mendengar ini dari Guru Tauhiid yang paling kuhormati, Aa Gym. Jadi, bukan suami yang memberi rizqi, tapi Alloh Swt. melalui suami kita. Dan aku hanya manusia biasa yang masih goyah ketika dihadapkan pada kenyataan setelah mencoba untuk yakin bahwa ALLOH MEMANG TIDAK AKAN PERNAH MENINGGALKAN KAMI.
Bagaimana tidak galau? Kalau waktu aku masih bekerja saja, kadang hutang lancar-ku ke kantor lumayan besar. Kadang sisa gaji tinggal sekian karena harus bayar hutang lancar tersebut. Ohya, dulu posisiku adalah keuangan yang menerima uang setoran cicilan dan tabungan dari anggota yang meminjam, otomatis selalu pegang uang cash karena setoran ke BMT-nya seminggu sekali atau bahkan dua minggu sekali. Uang cash itulah yang sering 'kupinjam dulu' untuk kebutuhan sehari-hari. Setelah gajian, langsung bayar. Nominalnya bisa 3/4 gaji loh. Tapi alhamdulillaah, selalu ada kekuatan untuk membayar lunas dan beberapa hari kemudian, 'pinjam dulu' lagi.
Selalu saja begitu setiap hari, dibayang-bayangi perasaan cemas, khawatir, dan takut kalo aku dan keluarga sampai tidak makan alias kelaparan. Dan selalu saja ada keyakinan, ah, mana mungkin? Alloh Swt Maha Pemberi Rizqi. Walau hanya mengandalkan gaji suamiku, yakinlah tidak akan kelaparan. 6 tahun bersama keluarga-keluarga yang kurang beruntung, melihat sendiri masalah yang mereka alami, yang berkaitan dengan keuangan pastinya, tapi mereka masih sehat, ga mungkin kan kalo ga makan bisa sehat. Itu artinya, setiap hari, ada makanan yang bisa mereka makan. Walaupun sangat sederhana, setidaknya bisa menegakkan tulang punggug mereka untuk kembali berjibaku dengan rutinitas 'yang menyedihkan' demi mengais rizqi untuk dimakan hari esok. Dan aku sungguh terenyum ketika mewawancarai mereka, guna mendapat pinjaman dari lembaga kami tahap berikutnya, aku selalu berbasa-basi dulu dengan bertanya, "gimana ibu? sehat? usahanya lancar?" dan hampir semua anggota menjawab "asal dikasih sehat, alhamdulillaah lancar. Pokoknya yang penting mah sehat, anak-anak pada makan semua". Entah itu hanya basa-basi atau 'contekan' dari temannya yang terlebih dulu diwawancara, yang jelas, aku takjub dengan jawaban sederhana yang mendasar maknanya. Sungguh tidak pernah terpikir olehku ketika sehat, dan baru ingat ketika sakit. Dan kalimat yang paling populer adalah, "sehat itu mahal". Tapi bagi mereka yang kurang beruntung, tentu lebih mahal harganya. Bedanya, mereka selalu ingat kalimat itu kapan saja, tapi aku, hanya ingat ketika sedagn sakit.
Sudahlah, bismillaah saja, semua pasti bisa dihadapi asal kita jangan melupakan Alloh Swt. Toh, orang yang jelas-jelas tidak beriman kepada-Nya saja, diberi rizqi, apalagi kita yang beriman? Insya Alloh.
Dan, hampir 4 bulan berlalu setelah ber-galau ria, kami (aku dan suamiku), menemukan kesimpulan yang sangat istimewa, yang dulu sering kudengar tapi tak pernah paham maknanya. Bahwa hidup, tidak seperti matematika, ketika pintu berkurang satu, ternyata tetap masih bisa makan setiap hari. Masih diberi kesehatan. Keluarga yang utuh karena aku telah diizinkan oleh-Nya untuk menjalankan peran sebagai ibu yang hanya mengurus keluarga.
Alhamdulillaah, tidak ada lagi yang namanya hutang lancar. Tapi semuanya berjalan lancar. Tentunya ada harga yang harus dibayar demi 'kelancaran' itu. Aku harus mampu mengendalikan sekecil apapun pengeluaran, karena keuangan keluarga, aku yang pegang. Suamiku yang membantu mengarahkan, bagaimana pembelanjaannya. Kalo dulu, sebentar-sebentar beli, sekarang kalo mau beli apa-apa, sebentar, lihat dulu budgetnya. Jarang jajan tidak jadi hina, walau tetangga pada jajan, ah makan aja yang kenyang, toh sama aja, makan dan jajan larinya ke perut-perut juga.
Kalau dulu sering beli lauk karena males masak. Sekarang 'dipaksa' masak setiap hari karena lebih irit. Walau cuma oseng-oseng seadanya. Tapi efeknya, aku jadi seneng mencoba beberapa jenis masakan yang menurutku agak ribet. Seperti tempe bacem. Hehe... Karena kan bosan juga tiap hari oseng-oseng, dadar telur, paling banter bikin soup bakso.
Jadi intinya, bukan masalah berapa pintunya, tapi cara kita memaksimalkan jumlah pintu itu agar semuanya bisa tertutup. ^_^'

Sabtu, 13 Oktober 2012

Berkaca pada Orang-orang Sukses di Negara Kita


Bismillaah…
Masa depan kita ditentukan oleh kebiasaan kita pada hari ini. Kalo hari ini kita senang menumpuk hutang demi kebutuhan yang sebenarnya masih dalam porsi keinginan, tunggulah saatnya, di mana masa depan kita penuh dengan lilitan hutang. Tapi kalo kebiasaan kita adalah belajar prihatin, memaksimalkan rizqi yang Allah Swt berikan hanya untuk kebutuhan-kebutuhan primer saja, insya Allah di masa depan kita akan menjadi orang yang merdeka. Pun bila di masa depan kita dikaruniai rizqi yang berlimpah karena kerja keras kita hari ini, kita akan terbiasa hidup bersahaja dan menghargai jerih payah kita sendiri. Coba aja, udah suka hutang, males lagi, halah, mau jadi apa hari esok kita? –Kata Pak Mario Teguh (dengan sedikit perubahan redaksi) waktu aku dan suamiku ikut taping Mario Teguh Golden Ways, yang bikin pusing itu. Gimana nggak pusing? Kata-kata dan kalimatnya alias bahasanya tuh butuh pencernaan yang luar biasa, seperti bayi yang baru lahir disuruh makan bubur, sistem pencernaannya akan bekerja ekstra keras untuk mengolah. Hehe… Lebay.

Berbicara tentang masa depan, kata Pak Mario juga, satu-satunya kejelasan masa depan adalah tidak jelasnya sebuah masa depan, karena masa depan itu masih suci, masih penuh misteri. Kita hanya bisa membentuknya, merencanakannya dengan kebiasaan-kebiasaan kitadi masa lalu, yakni masa kini.

Coba perhatikan, jangan hanya mengagumi kehebatan dan kesuksesan orang-orang hebat dan sukses yang pernah kita dengar, baca, dan lihat. Tapi PERHATIKAN. Kalo kata Bang Tere Liye, kita kadang melihat saja tapi tidak memperhatikan. Dan kalo kita mau sedikit menengok masa lalu mereka yang sudah sukses sekarang, mungkin kita nggak nyangka, bahwa masa lalu mereka kurang lebih yaa sama dengan kita saat ini. Bahkan mungkin lebih buruk.

Ada yang bilang ke Pak Mario, “Bapak sih enak tinggal ngomong doing,” trus kata Pak Mario, “ya terus mau ngapain lagi?” Coba perhatikan jawaban dari Pak Mario itu. MAU NGAPAIN LAGI? Itu artinya sudah banyak yang beliau lakukan selama ini untuk meningkatkan kualitas hidupnya sendiri sampai menjadi orang sukses seperti sekarang dan BISA NGOMONG. Ternyata Pak Mario itu masa kecilnya susah sekali, berangkat dari keluarga miskin yang selalu bekerja keras, tidak ada kata malas dalam kamusnya. Kalo mau tahu lebih detail tentang kisah hidupnya, silahkan gugling sendiri ya.

Nah, itu Pak Mario. Coba kita lihat yang lainnya. Ada Pak Dahlan Iskan yang dulunya juga miskin. Kebiasaannya hidup sederhana, masih terbawa sampe sekarang walau sudah ‘kaya’. Yaah, silahkan gugling lagi deh mengenai beliau.

Sekarang siapa lagi? Ahya, Andrea Hirata, yang dengan mimpi dan kerja kerasnya, bisa kuliah di Paris. Dan masih banyak lagi contoh sebenernya. Kitanya aja yang kadang pesimis sambil meratapi nasib. Nggak punya duit, pengen beli hape kamera, ngutang. Padahal apa sih fungsinya hape? Buat nelpon dan sms aja, kan? Kalo mau beli kamera, harus berguna tuh kamera, missal ada obsesi untuk jadi fotografer. Kalo sekarang yang lagi nge-trend, punya BB. Sekarang balik lagi ke niatnya. Seorang teman yang memaksa dirinya untuk beli BB, dia punya alasan kuat, mau jualan, dan fokus, dia jualan sebuah produk. Alhamdulillaah, BB-nya ternyata memang bermanfaat. Karena sekarang memang zamannya BB, jualan di Facebook udah pada jarang. Orang-orang udah pada lari ke BB jualannya. Trus kalo BB-nya cuma buat gaya-gayaan, naikin gengsi padahal hutangnya banyak, buat apa? Apa gue harus bilang WOW, gitu? Hehe…

Yah, pokoke banyak hal lah yang bisa dipikirin sebelum membeli sesuatu. Beli karena butuh ya, bukan karena kepengenan doing. Aku juga ngiler pengen beli BB, buat jualan, tapi mau jualan apa juga masih bingung. Nanti ajalah, kalo udah jelas mau jualan apa, dan optimis bakal lancar, baru bela-belain beli BB.

Balik lagi ke tema awal kita. Nggak usah jauh-jauh, aku punya saudara yang hobby-nya kerja keras. Dari nggak punya apa-apa, sampe punya apa aja. Dan alhamdulillaah, orangnya baik banget, suka membantu saudara, kan, jadinya banyak dido’ain sama saudara-saudaranya, jadi tambah naik deh derajat kesuksesannya, dimata manusia setidaknya. Kalo di mata Allah Swt, insya Allah juga naik. Aamiin…

Mau contoh apa lagi?

Soal makanan deh. Kenapa sih, harus sama ayam tiap kali makan? Harus sama daging? Atau pergi ke Resto Cepat Saji demi menaikkan gengsi? Yang sebenernya, makannya cuma sekali dalam sehari, tapi sekali makan yaa yang mahal-mahal. Kan, nyari penyakit itu namanya. Makan tuh idealnya 3 kali sehari, gapapa lauknya biasa aja, tempe sama tahu, yang cukup ramah untuk kantong, asal makannya sehari tiga kali. Ada loooh yang begitu, gengsian, urusan perut aja kok gengsi?

Tapi prihatin juga harus pada tempatnya. Bukan mentang-mentang prihatin, malah menyakiti diri sendiri, sering sakit dan lemes, malah bikin ngga produktif. Yah, yang proporsional ajalah. Okeh?!! ^_^’

Jadi intinya, ngga ada cerita pengen sukses dengan bermalas-malasan, ngga mau prihatin, dan tidak suka bekerja keras. Kalo lihat pengemis yang pura-pura pincang di lampu merah, apa yang ada di benak kita? Orang yang selalu ingin diberi akan selalu dipandang remeh oleh orang lain, jadi jangan menghinakan diri dengan selalu ‘meminta-minta’, yaaa….

Ohya, suamiku pernah cerita, waktu masih SMP dia punya temen keluarga Chinese. Suatu hari temennya itu habis dimarah-marahi orang tuanya hanya karena 1 hal, makan pake daging. Katanya, “nak, kita ini hidup di Negara orang, jadi jangan boros,” intinya begitu. Padahal dia juga jarang banget makan daging.

Selama suatu makanan itu bisa menegakkan tulang punggung kita untuk beribadah dan bekerja, makanlah secukupnya. Orang-orang sukses dan hebat yang ada di Negara kita, saja, dulu bahkan jarang ketemu makanan, saking miskinnya. Tapi mereka bisa sukses tanpa menghinakan diri di hadapan orang lain. So, yuk, belajar ‘ngaca’ dari mereka. ^_^’

Pamulang Barat, 13 Oktober 2012, 16.05