Minggu, 11 November 2012

Bukan masalah berapa pintunya, tapi cara kita memaksimalkan jumlah pintu itu agar semuanya bisa tertutup ^_^'



Bismillaah...

Hidup itu tidak seperti hitungan matematika. Kalimat yang tidak asing bukan? Aku pun sering mendengarnya. Walau baru kupahami makna sesungguhnya saat ini, saat sudah menjadi istri dan ibu, saat sudah tidak berpenghasilan (baca: bekerja, red), saat semua kebutuhan terus mengejar untuk dipenuhi, tapi sumber penghasilannya hanya 1, dari suamiku. Tidak terbayang galaunya aku setelah beberapa kali mencoba yakin, bahwa Alloh Swt tidak akan pernah meninggalkan kami. Rizqi itu dari Alloh Swt. melalui suami, aku pernah mendengar ini dari Guru Tauhiid yang paling kuhormati, Aa Gym. Jadi, bukan suami yang memberi rizqi, tapi Alloh Swt. melalui suami kita. Dan aku hanya manusia biasa yang masih goyah ketika dihadapkan pada kenyataan setelah mencoba untuk yakin bahwa ALLOH MEMANG TIDAK AKAN PERNAH MENINGGALKAN KAMI.
Bagaimana tidak galau? Kalau waktu aku masih bekerja saja, kadang hutang lancar-ku ke kantor lumayan besar. Kadang sisa gaji tinggal sekian karena harus bayar hutang lancar tersebut. Ohya, dulu posisiku adalah keuangan yang menerima uang setoran cicilan dan tabungan dari anggota yang meminjam, otomatis selalu pegang uang cash karena setoran ke BMT-nya seminggu sekali atau bahkan dua minggu sekali. Uang cash itulah yang sering 'kupinjam dulu' untuk kebutuhan sehari-hari. Setelah gajian, langsung bayar. Nominalnya bisa 3/4 gaji loh. Tapi alhamdulillaah, selalu ada kekuatan untuk membayar lunas dan beberapa hari kemudian, 'pinjam dulu' lagi.
Selalu saja begitu setiap hari, dibayang-bayangi perasaan cemas, khawatir, dan takut kalo aku dan keluarga sampai tidak makan alias kelaparan. Dan selalu saja ada keyakinan, ah, mana mungkin? Alloh Swt Maha Pemberi Rizqi. Walau hanya mengandalkan gaji suamiku, yakinlah tidak akan kelaparan. 6 tahun bersama keluarga-keluarga yang kurang beruntung, melihat sendiri masalah yang mereka alami, yang berkaitan dengan keuangan pastinya, tapi mereka masih sehat, ga mungkin kan kalo ga makan bisa sehat. Itu artinya, setiap hari, ada makanan yang bisa mereka makan. Walaupun sangat sederhana, setidaknya bisa menegakkan tulang punggug mereka untuk kembali berjibaku dengan rutinitas 'yang menyedihkan' demi mengais rizqi untuk dimakan hari esok. Dan aku sungguh terenyum ketika mewawancarai mereka, guna mendapat pinjaman dari lembaga kami tahap berikutnya, aku selalu berbasa-basi dulu dengan bertanya, "gimana ibu? sehat? usahanya lancar?" dan hampir semua anggota menjawab "asal dikasih sehat, alhamdulillaah lancar. Pokoknya yang penting mah sehat, anak-anak pada makan semua". Entah itu hanya basa-basi atau 'contekan' dari temannya yang terlebih dulu diwawancara, yang jelas, aku takjub dengan jawaban sederhana yang mendasar maknanya. Sungguh tidak pernah terpikir olehku ketika sehat, dan baru ingat ketika sakit. Dan kalimat yang paling populer adalah, "sehat itu mahal". Tapi bagi mereka yang kurang beruntung, tentu lebih mahal harganya. Bedanya, mereka selalu ingat kalimat itu kapan saja, tapi aku, hanya ingat ketika sedagn sakit.
Sudahlah, bismillaah saja, semua pasti bisa dihadapi asal kita jangan melupakan Alloh Swt. Toh, orang yang jelas-jelas tidak beriman kepada-Nya saja, diberi rizqi, apalagi kita yang beriman? Insya Alloh.
Dan, hampir 4 bulan berlalu setelah ber-galau ria, kami (aku dan suamiku), menemukan kesimpulan yang sangat istimewa, yang dulu sering kudengar tapi tak pernah paham maknanya. Bahwa hidup, tidak seperti matematika, ketika pintu berkurang satu, ternyata tetap masih bisa makan setiap hari. Masih diberi kesehatan. Keluarga yang utuh karena aku telah diizinkan oleh-Nya untuk menjalankan peran sebagai ibu yang hanya mengurus keluarga.
Alhamdulillaah, tidak ada lagi yang namanya hutang lancar. Tapi semuanya berjalan lancar. Tentunya ada harga yang harus dibayar demi 'kelancaran' itu. Aku harus mampu mengendalikan sekecil apapun pengeluaran, karena keuangan keluarga, aku yang pegang. Suamiku yang membantu mengarahkan, bagaimana pembelanjaannya. Kalo dulu, sebentar-sebentar beli, sekarang kalo mau beli apa-apa, sebentar, lihat dulu budgetnya. Jarang jajan tidak jadi hina, walau tetangga pada jajan, ah makan aja yang kenyang, toh sama aja, makan dan jajan larinya ke perut-perut juga.
Kalau dulu sering beli lauk karena males masak. Sekarang 'dipaksa' masak setiap hari karena lebih irit. Walau cuma oseng-oseng seadanya. Tapi efeknya, aku jadi seneng mencoba beberapa jenis masakan yang menurutku agak ribet. Seperti tempe bacem. Hehe... Karena kan bosan juga tiap hari oseng-oseng, dadar telur, paling banter bikin soup bakso.
Jadi intinya, bukan masalah berapa pintunya, tapi cara kita memaksimalkan jumlah pintu itu agar semuanya bisa tertutup. ^_^'