Kamis, 10 Januari 2013

Cerpen: Ibu Mimin


Ini cerpen yang pernah diikutkan lomba, tapi kalah. Hiks... Tetep semangat...!!! ^_^'

Waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB, aku merapikan mukena dengan malas. Malas membayangkan agenda hari ini, berjibaku dengan teriknya matahari yang tepat berada jauh di atas kepala, ditengah musim kemarau begini, makin terasa sengatannya. Malas bertemu dengan mereka yang selalu saja banyak keluhan, entah itu masalah keluarga, masalah dengan tetangga, dan 1001 macam masalah lainnya. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi tanggung jawabku, mau tidak mau harus dilaksanakan.
        Aku pun mengganti pakaian dan mengambil ransel kecilku. Berpamitan pada kedua orang tua dan bersiap mengeluarkan sepeda mini kesayanganku. Mengayuh pedal dan menempuh jarak sekitar 1 kilometer menuju tempat tugasku hari ini, hari Minggu. Dan hari ini matahari benar-benar terik.
“Assalaamu’alaykum,” sapaku ketika tiba di warung Ibu Mimin. Aku selalu menyempatkan untuk mampir ke rumahnya yang tepat berada di pinggir jalan.
“Wa’alaykumsalaam,” yang disapa adalah ibu-ibu paruh baya dengan daster selutut dan penampilan masih acak-acakan, khas pedagang sayur yang kelelahan setelah bergela-gelap ria menuju pasar pagi, belanja ini-itu untuk kebutuhan dagang, dan menajajakan dagangannya di warung kecil sambil menunggu ibu-ibu sekitar rumah yang hendak berbelanja. Wajahnya kuyu karena memang belum tidur dari jam 2 dini hari tadi, begitu setiap hari.
“Kok belum rapi, Bu? Hari ini kumpulannya di rumah Bu Titin, kan?”
“Iya, Mba. Maaf, saya kagak bisa dateng hari ini. Badan lemes banget, Bapaknya masuk rumah sakit semalem, insya Alloh minggu depan ya, Mba.”
“Lha, ibu, kan, minggu kemaren nggak dateng, masa mau nggak dateng lagi hari ini,” aku mulai kesal, dan memang selalu kesal menghadapi ibu yang satu ini. “Trus, minggu kemaren katanya mau nitip cicilan, kata Bu Wira nggak ada titipan,” selalu saja berjanji dan selalu saja tidak ditepati. Aku sudah malas bersungkan-sungkan lagi padanya.
“Iya, saya lupa, kemaren pas Mba Arin jalan, saya langsung tidur, capek banget. Minggu ini kagak nyicil dulu ya, Mba. Suami saya masuk rumah sakit semalem,” ohya, tadi dia bilang begitu juga, rasa kesalku membuatku lupa untuk berempati atas musibah yang terjadi pada suaminya.
“Ohya, sakit apa?”
“Kecelakaan, Mba. Ditabrak motor sama preman kampung sebelah,” Bu Mimin memasang gaya akan bercerita panjang lebar, khasnya kalau sudah mulai beralasan. Aku bukannya tidak mau mendengarkan, tapi dia saja tidak pernah mau mematuhi peraturan lembaga, untuk apa aku repot-repot mendengarkan keluhannya? Suaminya ditabrak orang, ah, sepertinya aku tidak mau peduli separah apa tabrakannya. Paling-paling, ujung-ujungnya meminta tambahan pinjaman sambil menangis tersedu-sedu. Aku paling tidak suka melihat orang lain menangis, karena aku tidak pernah bisa bersikap tegas di depan air mata.
“Oh, ya udah. Kalo gitu saya permisi ya, Bu. Assalaamu’alaykum,” aku langsung mengayuh sepedaku menuju rumah Ibu Titin. Aku tidak peduli dia menjawab salamku atau tidak.
Sesampainya di rumah Bu Titin, 7 dari 10 orang anggota kumpulan sudah hadir. Dikurangi Ibu Mimin yang sudah pasti tidak hadir, kami harus menunggu 2 orang lagi agar kegiatan rutin ini bisa dimulai. Dan tidak sampai 5 menit, kedua orang ibu yang ditunggu sudah hadir dan langsung bergabung.
Kesepuluh orang ibu ini adalah anggota sebuah lembaga pemberdayaan perempuan dimana aku bekerja. Kegiatannya adalah kumpulan rutin sepekan sekali, berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 10 sampai 20 orang anggota. Ada fasilitas pembiayaan lunak yang kami berikan yang harus dicicil setiap pekannya dan sangat dianjurkan untuk menabung. Kisaran pembiayaannya tidak besar, antara Rp.500.000,- sampai Rp.1.000.000,- per orang dan dalam jangka waktu sekitar 6 bulan harus sudah lunas. Tujuannya adalah membiasakan para perempuan, terutama di desa-desa, agar mandiri dan turut membantu suami yang rata-rata penghasilannya minim. Profesi mereka kebanyakan adalah ibu rumah tangga pada awalnya, akan tetapi setelah mendapatkan pembiayaan, mereka mulai belajar untuk berdagang kecil-kecilan, demi menambah sumber pendapatan baru dan juga mengembalikan uang pinjaman ke lembaga kami.
Hal terberat adalah ketika harus berhadapan dengan Bank keliling, Koperasi, atau apalah namanya yang notabene tetangga mereka sendiri. Karena lembaga kami mengambil margin jauh lebih kecil daripada yang diambil oleh Bank keliling atau Koperasi tersebut. Aku bahkan pernah dilabrak habis-habisan di depan ibu-ibu anggota kumpulanku dan ternyata aku pun dibela habis-habisan oleh mereka, karena mereka memang merasakan manfaat lembaga kami daripada manfaat Bank keliling atau Koperasi tersebut yang pada dasarnya hanya mencekik leher.
Beberapa dari anggota kumpulanku pernah menjadi korban jeratan Bank keliling tersebut, sampai hutangnya tidak pernah lunas karena setiap bulan hanya membayar bunganya saja. Pembiayaan dari lembaga kami pun akhirnya digunakan untuk menutup pinjaman di sana. Dengan cicilan ringan dan dibayar sepekan sekali, catatan cicilan mereka lancar. Dalam hati aku sering bersyukur karena mempunyai kesempatan untuk menjadi jalan untuk membantu banyak orang.
Tapi, namanya orang banyak, dalam setiap kelompok, selalu saja ada beberapa orang yang bermasalah. Salah satunya Ibu Mimin. Dia adalah satu-satunya di kelompok ini yang paling jarang hadir, sementara kehadiran adalah hal yang utama di lembaga kami.
“Kalo dia udah lunas, mah, dikeluarin aja, Mba,” usul Ibu Titin, ketua kelompok Tomat—ohya, setiap kelompok memiliki nama kelompok sendiri-sendiri, biasanya memakai nama sayuran, buah, atau bunga—yang diamini oleh anggota yang lain.
Selalin jarang hadir, Ibu Mimin juga sering tidak mencicil dan selalu digalang oleh anggota yang lain, istilahnya tanggung renteng, sehingga catatan di laporan keuangan lembaga, kelompok ini selalu bersih, tapi selalu saja ada keluhan dari beberapa anggota yang sebenarnya tidak mau ikut patungan membayarkan cicilan Ibu Mimin.
“Soalnya dia kalo digalang, ga pernah bayar, Mba, ke kita,” keluh Ibu Wira. Akan tetapi karena sudah menjadi kesepakatan dan sudah menjadi peraturan, akhirnya mereka mau saja patungan untuk menutupi cicilannya Ibu Mimin.
Kegiatan kumpulan ini biasanya terdiri dari, pembukaan dan pembacaan tekad anggota yang dipimpin oleh salah satu dari anggota yang hadir, setiap pekan bergantian. Setelah itu membayar cicilan dan menabung. Khusus untuk kelompok ini, mereka minta diajarkan membaca, karena 80% dari mereka ternyata sama sekali buta huruf. Dan terakhir penutup dan sesi curhat. Inilah yang paling memakan waktu dan membuatku malas setiap kali harus berangkat kumpulan, mereka selalu berebutan untuk menceritakan apapun yang terjadi dengan mereka, baik di rumah tangga maupun di lingkungan sekitar. Apalagi ini hari Minggu, saat seharusnya aku beristirahat bersama keluarga, karena Senin sampai Jum’at aku bekerja di kantor dan kadang harus kumpulan juga, dan Sabtu mencuci dan menyetrika pakaian sendiri. Akan tetapi, kalau diganti hari, sebagian besar dari anggota kelompok Tomat ini tidak akan bisa hadir, karena harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga hari libur mereka hanya hari Minggu.
“Ibu-ibu, saya mohon maaf, karena habis ini saya ada agenda lain, jadi saya harus pamit sekarang,” aku memotong curhat Ibu Wira yang sedang semangat menceritakan tentang anaknya yang baru saja mendapat beasiswa di sekolahnya. Karena kalo tidak distop, aku bisa pulang malam lagi hari ini. Kapan istirahatnya? Aku tidak bohong, kan? Agendaku setelah ini adalah istirahat, menyiapkan energi untuk esok hari. Lagipula sesi curhat sebenarnya tidak ada dalam susunan acara kumpulan.
“Oh, iya, Mba. Makasih ya, ati-ati di jalan,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Iya, assalaamu’alaykum.”
“Wa’alaykumsalaam.”
Kami pun meninggalkan rumah Ibu Titin bersama-sama, aku menuntun sepedaku sambil tetap mendengarkan curhat Ibu Wira yang masih semangat untuk melanjutkan, kepalaku sudah pusing.
***
Rabu siang, di kantor. Sedang asyik-asyiknya menikmati makan siang, tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulirik sebentar, dari ibu Titin kelompok Tomat. Ah, nanti saja aku angkatnya. Habis ini aku harus kumpulan di kelompok Bawang. Tidak boleh terlambat karena nanti anggota akan meniru dan menjadikan keterlambatanku sebagai alasan keterlambatan mereka.
            Selesai makan aku langsung bersiap-siap menuju kelompok Bawang. Handphone-ku berdering lagi. Sepertinya penting, sampai menelepon lagi.
            “Assalaamu’alaykum, maaf, Bu, tadi lagi makan. Ada apa ya?”
“Wa’alaykumsalaam, iya nggak papa, Mba Arin. Saya cuma mau ngasih tau, Ibu Mimin kabur dari rumah.”
“Loh? Kenapa?” aku tiba-tiba teringat harus segera berangkat. “Nanti malam saya telepon balik ya, Bu. Maaf, saya lagi buru-buru sekarang, ada kumpulan lagi.”
“Oh, iya, Mba. Nanti malam saya tunggu.”
***
“Ibu Mimin kelilit utang, Mba,” Ibu Titin membuka pembicaraan. “Dia kabur soalnya tiap hari ditagihin orang Bank 10 orang,” aku membelalak.
            “Bank keliling?” 10 orang? 1 orang saja bisa membuat pusing karena setiap hari ditagih dan kalau tidak ada uang untuk membayar, dibentak-bentak dulu baru pergi.
            “Iya. Kalo ditotal, sekitar 15 jutaan semuanya, Mba,” aku semakin kaget. “Ibu Mimin kagak bisa bayar lagi. Kasian suami sama anak-anaknya, ditinggalin begitu aja, yang paling kasihan yang paling kecil, soalnya seharian dia ada di rumah, tadi dibentak-bentak mulu sama orang-orang Bank-nya. Ibu Mimin kaburnya nggak tau kapan. Semalem kali, sekalian belanja sayur, tapi kagak belanja, malah kabur,” Ibu Titin cerita panjang lebar.
            “Suaminya bukannya lagi di rumah sakit?” aku tiba-tiba ingat penuturan Ibu Mimin hari Minggu kemarin. Jangan-jangan untuk biaya rumah sakit. Aduh, separah apa ya, tabrakannya? Jadi merasa bersalah.
            “Ngapain di rumah sakit?” Bu Titin balik bertanya.
“Loh, katanya habis tabrakan malem Minggu kemaren?”
“Ah, kagak. Orang tadi pagi ada di rumah. Rame banget tadi pagi di rumahnya, orang-orang pada mau belanja, Bu Mimin-nya kagak ada. Suaminya ke tempat kerjaannya, mau kasbon katanya, buat nutupin utangnya Bu Mimin. Emang boleh ya, Mba, minjem duit segitu banyak?”
“Wah, saya nggak tau, Bu. Potong gaji, mungkin. Tapi 15 juta itu, kan, banyak banget, Bu. Emangnya Bu Mimin buat apaan duit sebanyak itu?” aku menyelidik, karena ternyata bukan untuk biaya rumah sakit.
“Kagak tau juga, Mba. Tapi kata orang-orang sih, buat modal dagang sayur. Minjem ke Bank A, trus nggak bisa bayar, minjem lagi ke Bank B buat bayar Bank A, begitu seterusnya.”
“Masa modal sayur doang bisa berjumlah 15 juta?”
“Ya kagak, Mba. Dia, kan, orangnya sok kaya. Senengnya jajan sama ngumpulin barang-barang elektronik,” hmm, iya sih, aku sempat heran waktu kumpulan di rumahnya, perabotan rumah tangganya lumayan lengkap, sangat berbeda dengan perabotan di rumah 9 orang anggota yang lain. Ada mesin cuci, lemari es 2 pintu, televisi 21 inchi, blender, mixer, dispenser, dan sebagainya. Ternyata itu dari hutang, ya? Pantas saja bila mencapai angka 15 juta. Serem juga, seorang pedagang sayur yang penghasilan kotor hariannya hanya sekitar Rp.100.000,- sampai Rp.200.000,-, mempunyai hutang sebesar itu. Belum untuk kebutuhan sehari-hari dengan 5 orang anak yang masih sekolah semua, sementara suaminya bekerja di sebuah bengkel kecil yang penghasilannya juga tidak seberapa.
Aku memang sebal dengan Ibu Mimin yang selalu mengingkari janji, baik untuk hadir pada acara kumpulan maupun untuk cicilan, apalagi kecelakaan suaminya ternyata hanya bualan belaka, aku jadi semakin sebal. Tapi dengan hutang sebanyak itu, bagaimana anak-anak dan suaminya melanjutkan hidup? Yang paling besar saja baru kelas 2 SMP. Sementara ibunya kabur dari rumah. Aku tidak berani membayangkan. Terlalu ngeri untuk sebuah kenyataan.
“Soal utangnya di kita, nanti saya coba bicarakan dengan pimpinan saya, Bu. Semoga saja bisa diputihkan. Lagipula tinggal dua ratus ribuan lagi.”
“Iya, Mba. Saya kasian juga sama dia.”
“Kalo boleh kasih saran, perabotan yang nggak terlalu perlu, dijual aja, lumayan buat ngurangin utangnya.”
“Iya, nanti saya sampein ke suaminya. Ya udah gitu aja ya, Mba. Maaf ganggu, malem-malem.”
“Ya, nggak papa. Makasih informasinya, Bu.”
“Sama-sama, Mba. Assalaamu’alaykum.”
“Wa’alaykum salaam.”
Dan semalaman, aku tidak bisa tidur hanya karena memikirkan kejadian ini.