Ini cerpen yang pernah diikutkan lomba, tapi kalah. Hiks... Tetep semangat...!!! ^_^'
Waktu
menunjukkan pukul 12.30 WIB, aku merapikan mukena dengan malas. Malas
membayangkan agenda hari ini, berjibaku dengan teriknya matahari yang tepat
berada jauh di atas kepala, ditengah musim kemarau begini, makin terasa sengatannya.
Malas bertemu dengan mereka yang selalu saja banyak keluhan, entah itu masalah
keluarga, masalah dengan tetangga, dan 1001 macam masalah lainnya. Tapi mau
bagaimana lagi, ini sudah menjadi tanggung jawabku, mau tidak mau harus
dilaksanakan.
Aku pun mengganti pakaian dan mengambil ransel kecilku.
Berpamitan pada kedua orang tua dan bersiap mengeluarkan sepeda mini
kesayanganku. Mengayuh pedal dan menempuh jarak sekitar 1 kilometer menuju
tempat tugasku hari ini, hari Minggu. Dan hari ini matahari benar-benar terik.
“Assalaamu’alaykum,” sapaku ketika
tiba di warung Ibu Mimin. Aku selalu menyempatkan untuk mampir ke rumahnya yang
tepat berada di pinggir jalan.
“Wa’alaykumsalaam,” yang disapa adalah ibu-ibu paruh baya
dengan daster selutut dan penampilan masih acak-acakan, khas pedagang sayur
yang kelelahan setelah bergela-gelap ria menuju pasar pagi, belanja ini-itu
untuk kebutuhan dagang, dan menajajakan dagangannya di warung kecil sambil
menunggu ibu-ibu sekitar rumah yang hendak berbelanja. Wajahnya kuyu karena
memang belum tidur dari jam 2 dini hari tadi, begitu setiap hari.
“Kok belum rapi, Bu? Hari ini kumpulannya di rumah Bu Titin,
kan?”
“Iya, Mba. Maaf, saya kagak bisa dateng hari ini. Badan
lemes banget, Bapaknya masuk rumah sakit semalem, insya Alloh minggu depan ya,
Mba.”
“Lha, ibu, kan, minggu kemaren nggak dateng, masa mau
nggak dateng lagi hari ini,” aku mulai kesal, dan memang selalu kesal
menghadapi ibu yang satu ini. “Trus, minggu kemaren katanya mau nitip cicilan,
kata Bu Wira nggak ada titipan,” selalu saja berjanji dan selalu saja tidak
ditepati. Aku sudah malas bersungkan-sungkan lagi padanya.
“Iya, saya lupa, kemaren pas Mba Arin jalan, saya
langsung tidur, capek banget. Minggu ini kagak nyicil dulu ya, Mba. Suami saya
masuk rumah sakit semalem,” ohya, tadi dia bilang begitu juga, rasa kesalku
membuatku lupa untuk berempati atas musibah yang terjadi pada suaminya.
“Ohya, sakit apa?”
“Kecelakaan, Mba. Ditabrak motor sama preman kampung
sebelah,” Bu Mimin memasang gaya akan bercerita panjang lebar, khasnya kalau
sudah mulai beralasan. Aku bukannya tidak mau mendengarkan, tapi dia saja tidak
pernah mau mematuhi peraturan lembaga, untuk apa aku repot-repot mendengarkan
keluhannya? Suaminya ditabrak orang, ah, sepertinya aku tidak mau peduli
separah apa tabrakannya. Paling-paling, ujung-ujungnya meminta tambahan
pinjaman sambil menangis tersedu-sedu. Aku paling tidak suka melihat orang lain
menangis, karena aku tidak pernah bisa bersikap tegas di depan air mata.
“Oh, ya udah. Kalo gitu saya permisi ya, Bu.
Assalaamu’alaykum,” aku langsung mengayuh sepedaku menuju rumah Ibu Titin. Aku
tidak peduli dia menjawab salamku atau tidak.
Sesampainya di rumah Bu Titin, 7 dari 10 orang anggota
kumpulan sudah hadir. Dikurangi Ibu Mimin yang sudah pasti tidak hadir, kami
harus menunggu 2 orang lagi agar kegiatan rutin ini bisa dimulai. Dan tidak
sampai 5 menit, kedua orang ibu yang ditunggu sudah hadir dan langsung
bergabung.
Kesepuluh orang ibu ini adalah anggota sebuah lembaga
pemberdayaan perempuan dimana aku bekerja. Kegiatannya adalah kumpulan rutin
sepekan sekali, berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 10 sampai 20 orang
anggota. Ada fasilitas pembiayaan lunak yang kami berikan yang harus dicicil
setiap pekannya dan sangat dianjurkan untuk menabung. Kisaran pembiayaannya
tidak besar, antara Rp.500.000,- sampai Rp.1.000.000,- per orang dan dalam
jangka waktu sekitar 6 bulan harus sudah lunas. Tujuannya adalah membiasakan
para perempuan, terutama di desa-desa, agar mandiri dan turut membantu suami
yang rata-rata penghasilannya minim. Profesi mereka kebanyakan adalah ibu rumah
tangga pada awalnya, akan tetapi setelah mendapatkan pembiayaan, mereka mulai
belajar untuk berdagang kecil-kecilan, demi menambah sumber pendapatan baru dan
juga mengembalikan uang pinjaman ke lembaga kami.
Hal terberat adalah ketika harus berhadapan dengan Bank
keliling, Koperasi, atau apalah namanya yang notabene tetangga mereka sendiri.
Karena lembaga kami mengambil margin jauh lebih kecil daripada yang diambil
oleh Bank keliling atau Koperasi tersebut. Aku bahkan pernah dilabrak
habis-habisan di depan ibu-ibu anggota kumpulanku dan ternyata aku pun dibela
habis-habisan oleh mereka, karena mereka memang merasakan manfaat lembaga kami
daripada manfaat Bank keliling atau Koperasi tersebut yang pada dasarnya hanya
mencekik leher.
Beberapa dari anggota kumpulanku pernah menjadi korban
jeratan Bank keliling tersebut, sampai hutangnya tidak pernah lunas karena
setiap bulan hanya membayar bunganya saja. Pembiayaan dari lembaga kami pun
akhirnya digunakan untuk menutup pinjaman di sana. Dengan cicilan ringan dan
dibayar sepekan sekali, catatan cicilan mereka lancar. Dalam hati aku sering
bersyukur karena mempunyai kesempatan untuk menjadi jalan untuk membantu banyak
orang.
Tapi, namanya orang banyak, dalam setiap kelompok, selalu
saja ada beberapa orang yang bermasalah. Salah satunya Ibu Mimin. Dia adalah
satu-satunya di kelompok ini yang paling jarang hadir, sementara kehadiran
adalah hal yang utama di lembaga kami.
“Kalo dia udah lunas, mah, dikeluarin aja, Mba,” usul Ibu
Titin, ketua kelompok Tomat—ohya, setiap kelompok memiliki nama kelompok
sendiri-sendiri, biasanya memakai nama sayuran, buah, atau bunga—yang diamini
oleh anggota yang lain.
Selalin jarang hadir, Ibu Mimin juga sering tidak
mencicil dan selalu digalang oleh anggota yang lain, istilahnya tanggung
renteng, sehingga catatan di laporan keuangan lembaga, kelompok ini selalu
bersih, tapi selalu saja ada keluhan dari beberapa anggota yang sebenarnya
tidak mau ikut patungan membayarkan cicilan Ibu Mimin.
“Soalnya dia kalo digalang, ga pernah bayar, Mba, ke
kita,” keluh Ibu Wira. Akan tetapi karena sudah menjadi kesepakatan dan sudah
menjadi peraturan, akhirnya mereka mau saja patungan untuk menutupi cicilannya
Ibu Mimin.
Kegiatan kumpulan ini biasanya terdiri dari, pembukaan
dan pembacaan tekad anggota yang dipimpin oleh salah satu dari anggota yang
hadir, setiap pekan bergantian. Setelah itu membayar cicilan dan menabung.
Khusus untuk kelompok ini, mereka minta diajarkan membaca, karena 80% dari
mereka ternyata sama sekali buta huruf. Dan terakhir penutup dan sesi curhat.
Inilah yang paling memakan waktu dan membuatku malas setiap kali harus
berangkat kumpulan, mereka selalu berebutan untuk menceritakan apapun yang
terjadi dengan mereka, baik di rumah tangga maupun di lingkungan sekitar.
Apalagi ini hari Minggu, saat seharusnya aku beristirahat bersama keluarga,
karena Senin sampai Jum’at aku bekerja di kantor dan kadang harus kumpulan
juga, dan Sabtu mencuci dan menyetrika pakaian sendiri. Akan tetapi, kalau
diganti hari, sebagian besar dari anggota kelompok Tomat ini tidak akan bisa
hadir, karena harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga hari libur
mereka hanya hari Minggu.
“Ibu-ibu, saya mohon maaf, karena habis ini saya ada
agenda lain, jadi saya harus pamit sekarang,” aku memotong curhat Ibu Wira yang
sedang semangat menceritakan tentang anaknya yang baru saja mendapat beasiswa
di sekolahnya. Karena kalo tidak distop, aku bisa pulang malam lagi hari ini.
Kapan istirahatnya? Aku tidak bohong, kan? Agendaku setelah ini adalah
istirahat, menyiapkan energi untuk esok hari. Lagipula sesi curhat sebenarnya
tidak ada dalam susunan acara kumpulan.
“Oh, iya, Mba. Makasih ya, ati-ati di jalan,” jawab
mereka hampir bersamaan.
“Iya, assalaamu’alaykum.”
“Wa’alaykumsalaam.”
Kami pun meninggalkan rumah Ibu Titin bersama-sama, aku
menuntun sepedaku sambil tetap mendengarkan curhat Ibu Wira yang masih semangat
untuk melanjutkan, kepalaku sudah pusing.
***
Rabu
siang, di kantor. Sedang asyik-asyiknya menikmati makan siang, tiba-tiba handphone-ku
berdering. Kulirik sebentar, dari ibu Titin kelompok Tomat. Ah, nanti saja aku
angkatnya. Habis ini aku harus kumpulan di kelompok Bawang. Tidak boleh
terlambat karena nanti anggota akan meniru dan menjadikan keterlambatanku
sebagai alasan keterlambatan mereka.
Selesai makan aku langsung
bersiap-siap menuju kelompok Bawang. Handphone-ku berdering lagi. Sepertinya
penting, sampai menelepon lagi.
“Assalaamu’alaykum, maaf, Bu, tadi
lagi makan. Ada apa ya?”
“Wa’alaykumsalaam, iya nggak papa, Mba Arin. Saya cuma
mau ngasih tau, Ibu Mimin kabur dari rumah.”
“Loh? Kenapa?” aku tiba-tiba teringat harus segera
berangkat. “Nanti malam saya telepon balik ya, Bu. Maaf, saya lagi buru-buru
sekarang, ada kumpulan lagi.”
“Oh, iya, Mba. Nanti malam saya tunggu.”
***
“Ibu
Mimin kelilit utang, Mba,” Ibu Titin membuka pembicaraan. “Dia kabur soalnya
tiap hari ditagihin orang Bank 10 orang,” aku membelalak.
“Bank keliling?” 10 orang? 1 orang
saja bisa membuat pusing karena setiap hari ditagih dan kalau tidak ada uang
untuk membayar, dibentak-bentak dulu baru pergi.
“Iya. Kalo ditotal, sekitar 15
jutaan semuanya, Mba,” aku semakin kaget. “Ibu Mimin kagak bisa bayar lagi.
Kasian suami sama anak-anaknya, ditinggalin begitu aja, yang paling kasihan
yang paling kecil, soalnya seharian dia ada di rumah, tadi dibentak-bentak mulu
sama orang-orang Bank-nya. Ibu Mimin kaburnya nggak tau kapan. Semalem kali,
sekalian belanja sayur, tapi kagak belanja, malah kabur,” Ibu Titin cerita
panjang lebar.
“Suaminya bukannya lagi di rumah
sakit?” aku tiba-tiba ingat penuturan Ibu Mimin hari Minggu kemarin.
Jangan-jangan untuk biaya rumah sakit. Aduh, separah apa ya, tabrakannya? Jadi
merasa bersalah.
“Ngapain di rumah sakit?” Bu Titin
balik bertanya.
“Loh, katanya habis tabrakan malem Minggu kemaren?”
“Ah, kagak. Orang tadi pagi ada di rumah. Rame banget
tadi pagi di rumahnya, orang-orang pada mau belanja, Bu Mimin-nya kagak ada.
Suaminya ke tempat kerjaannya, mau kasbon katanya, buat nutupin utangnya Bu
Mimin. Emang boleh ya, Mba, minjem duit segitu banyak?”
“Wah, saya nggak tau, Bu. Potong gaji, mungkin. Tapi 15
juta itu, kan, banyak banget, Bu. Emangnya Bu Mimin buat apaan duit sebanyak
itu?” aku menyelidik, karena ternyata bukan untuk biaya rumah sakit.
“Kagak tau juga, Mba. Tapi kata orang-orang sih, buat
modal dagang sayur. Minjem ke Bank A, trus nggak bisa bayar, minjem lagi ke
Bank B buat bayar Bank A, begitu seterusnya.”
“Masa modal sayur doang bisa berjumlah 15 juta?”
“Ya kagak, Mba. Dia, kan, orangnya sok kaya. Senengnya
jajan sama ngumpulin barang-barang elektronik,” hmm, iya sih, aku sempat heran
waktu kumpulan di rumahnya, perabotan rumah tangganya lumayan lengkap, sangat
berbeda dengan perabotan di rumah 9 orang anggota yang lain. Ada mesin cuci,
lemari es 2 pintu, televisi 21 inchi, blender, mixer, dispenser, dan
sebagainya. Ternyata itu dari hutang, ya? Pantas saja bila mencapai angka 15
juta. Serem juga, seorang pedagang sayur yang penghasilan kotor hariannya hanya
sekitar Rp.100.000,- sampai Rp.200.000,-, mempunyai hutang sebesar itu. Belum
untuk kebutuhan sehari-hari dengan 5 orang anak yang masih sekolah semua,
sementara suaminya bekerja di sebuah bengkel kecil yang penghasilannya juga
tidak seberapa.
Aku memang sebal dengan Ibu Mimin yang selalu mengingkari
janji, baik untuk hadir pada acara kumpulan maupun untuk cicilan, apalagi
kecelakaan suaminya ternyata hanya bualan belaka, aku jadi semakin sebal. Tapi
dengan hutang sebanyak itu, bagaimana anak-anak dan suaminya melanjutkan hidup?
Yang paling besar saja baru kelas 2 SMP. Sementara ibunya kabur dari rumah. Aku
tidak berani membayangkan. Terlalu ngeri untuk sebuah kenyataan.
“Soal utangnya di kita, nanti saya coba bicarakan dengan
pimpinan saya, Bu. Semoga saja bisa diputihkan. Lagipula tinggal dua ratus ribuan
lagi.”
“Iya, Mba. Saya kasian juga sama dia.”
“Kalo boleh kasih saran, perabotan yang nggak terlalu
perlu, dijual aja, lumayan buat ngurangin utangnya.”
“Iya, nanti saya sampein ke suaminya. Ya udah gitu aja
ya, Mba. Maaf ganggu, malem-malem.”
“Ya, nggak papa. Makasih informasinya, Bu.”
“Sama-sama, Mba. Assalaamu’alaykum.”
“Wa’alaykum salaam.”
Dan semalaman, aku tidak bisa tidur hanya karena
memikirkan kejadian ini.
kayaknya dari pengalaman juga nih...
BalasHapuscerpennya udah selesai sampe sini aja mpok?
Hehe...
HapusKrn emg cuma segitu maksimalnya, di persyaratannya begitu. Kalo novel baru panjaaaang. :)