Senin, 16 April 2012

Kenapa 'bangga' menjadi orang miskin?

Bismillaah…

Semoga apa yang kutulis berikut ini dapat memberi pencerahan atau apalah bagi siapapun yang mau sejenak membacanya.

Maaf,  tanpa bermaksud untuk berghibah, gossip, dan teman-temannya, walau sebenernya memang sudah termasuk kategori itu, aku hanya ingin memaparkan fakta yang sebenarnya. Yang pernah kulihat, pernah kudengar sendiri dari teman yang sama-sama mengalami ‘kejengkelan’ itu, dan yang pernah kualami sendiri.

Ini tentang orang miskin. Maaf, aku tidak memperhalus bahasanya dengan ‘dhuafa’ karena beberapa orang miskin yang pernah kutemui, ternyata bukan miskin karena mereka tidak mampu berusaha atau apalah, mereka miskin karena perbuatan mereka sendiri yang senang memiskinkan diri. Okelah, pengemis tidak termasuk kategori ini, mereka sudah jelas PEMALAS, berbisnis dengan mempermainkan rasa kasihan orang lain. Dan kalo urusan pengemis, mungkin kita sudah sama-sama setuju, mereka menyebalkan.

Orang miskin yang kubahas di sini adalah orang miskin yang gaya hidupnya seperti orang kaya. Sok kaya gitu deh. Lebih mengedepankan gengsi pribadi, kesenangan, tidak mau prihatin, dan kesimpulan dari semua itu adalah EGOIS. Kenapa kubilang begitu? Karena mereka memilih rasa daripada manfaat atau mudharat.
Kalau aku tulis dengan gaya bahasa di atas mungkin masih ada yang bingung ya. Sebenernya mau cerita apa sih?

Sekarang begini aja, aku pernah dengar dari salah seorang teman yang berprofesi sebagai dokter umum. Pada suatu hari dia bertemu dengan pasien yang ngakunya miskin sampai minta digratiskan biaya berobatnya. Tahukah anda apa penyakitnya? Penyakitnya sih cuma batuk-batuk. Tapi batuk-batuk yang berdarah? Sampe muntah darah gitu. Penyebabnya sepele, gemar merokok. Dan ketika temanku menyarankan untuk berhenti merokok, orang itu cuma cengengesan menyebalkan. Nah, inilah yang kusebut “mereka lebih memilih rasa daripada manfaat atau mudharat”. Lebih suka "bakar uang" daripada jaga kesehatan.

Sebenernya banyaaaak sekali cerita yang seperti itu. Sehingga jangan heran kalau angka kemiskinan di Negara kita tercinta ini semakin hari semakin tinggi. Ya karena dibuat-buat sendiri. Miskinnya sih beneran miskin, tapi penyebabnya itu loh, yang seharusnya mereka tidak perlu mendapat gelar miskin. pada egois banget sih.

Hhhh… jadi pengen cerita yang lain. Kalau yang tadi soal kebiasaan merokok, yang akhirnya memiskinkan dia. Sekarang tentang BLT. Ini cerita dari temenku yang lain ketika aku memasang status di ym-ku: “Kenapa sih banyak banget orang yang seneng ngaku miskin? Kalo miskin beneran baru tau rasa looh.”

Temenku langsung menyukai statusku dan bercerita banyak. Katanya, jumlah orang miskin di Indonesia makin meningkat, tapi yang kredit motor tiap tahun juga bertambah. Pas ada BLT, rame-rame ngaku orang miskin. Ngambil uang BLT-nya pake motor baru. Setelah uang BLT-nya turun, buat bayar DP motor. Iiiiih, penting ya? Kredit motor baru dari uang BLT? Kasian pemerintah, ngeluarin uang banyak-banyak tapi ga tepat sasaran dan ga tepat penggunaan. Masya Allah….

Jadi inget cerita di sebuah surat kabar. Aku lupa tulisan siapa. Dan aku yakin beliau tidak mengada-ada, karena yang seperti beliau ceritakan memang ada, banyak mungkin.

Ceritanya tentang pemuda miskin dari keluarga miskin. Orang tuanya sangat berharap si pemuda mendapatkan pekerjaan demi memenuhi kebutuhan untuk makan mereka setiap hari. Yaaa, minimal beli berasnya ajalah. Lauk pauk mah seadanya aja. Karena kita orang Indonesia, kalo belum makan nasi, ya berarti belum makan.

Nah, alhamdulillaah, si pemuda akhirnya mendapat pekerjaan sebagai Office Boy di sebuah perusahaan kecil. Rajin sekali dia bekerja dengan harapan segera bertemu dengan waktunya GAJIAN. Dan waktu yang dinanti-nantikan pun tiba, dia mendapatkan gaji pertamanya dari hasil keringatnya sendiri. Halal, insya Allah.

Keluarga di rumah pun menanti-nanti dengan sabar hati. Berharap si pemuda pulang dengan membawa sekarung beras untuk makan sebulan ke depan sampai ketemu gajian lagi.
Ternyata apa yang dilakukan si pemuda dengan gaji pertamanya?

DIA BELI HANDPHONE sodara-sodara. Masya Allah…

Penting ya? Punya handphone. Lebih penting mana sama makan?
Mulia ya? Nenteng-nenteng handphone setiap hari. Lebih mulia mana dengan membahagiakan hati kedua orang tuanya?
Orang tua yang merawat dan membesarkannya dari kecil. Rela tidak makan demi tercukupinya kebutuhan makan anak-anaknya. Rela membanting tulang, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Demi terhentinya tangisan anaknya yang kelaparan. Yang hanya menatap lirih ketika anak-anaknya asyik menyantap makanan, sementara orang tua hanya menyaksikan. Syukur-syukur kalau ada makanan tersisa yang bisa dimakan. Kalau tidak?

Wahai Allah… mental apa yang Kau ciptakan di hati masyarakat kami? Apa yang salah dengan mental kami?
Astaghfirullaah….

Semoga Allah Swt mengampuniku yang telah membuat tulisan ini. Yaaah, barangkali aja ada yang ‘tertampar’ dan merasakan sakit yang luar biasa dari tulisan ini. Dan untuk rasa sakit itu, aku mohon maaf. Aamiiin…

2 komentar: